Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, isu kesehatan mental semakin mendapatkan sorotan. Banyak faktor yang berperan dalam meningkatkan risiko gangguan mental, terutama di lingkungan perkotaan yang serba cepat.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di dunia hiburan, seperti kesuksesan band-band yang kembali setelah hiatus, misalnya Polka Wars, The Trees and The Wild, dan Seaside. Perhatian lebih besar terhadap kesehatan mental menjadi sangat krusial di era ini.
WHO: Tinggal di Kota Tingkatkan Risiko Gangguan Mental
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah lama mengingatkan tentang dampak negatif lingkungan perkotaan terhadap kesehatan mental. Ritme hidup yang cepat, tekanan sosial yang tinggi, dan kurangnya ruang untuk pemulihan diri menjadi faktor utama.
Angka ini menjadi pengingat bahwa kesehatan mental adalah isu yang perlu ditangani secara serius.
Penelitian Terbaru: 10,4% Warga Kota Alami Gangguan Mental
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Khairunnisa dkk. (2024) memberikan data yang lebih spesifik terkait gangguan mental di wilayah urban. Penelitian tersebut menemukan bahwa 10,4% responden yang tinggal di wilayah perkotaan terindikasi mengalami gangguan kesehatan mental umum (CMDs).
CMDs mencakup depresi, gangguan kecemasan, atau gangguan bipolar, yang mana angka ini lebih tinggi dibandingkan wilayah rural.
Perbandingan dengan Wilayah Rural
Penelitian Khairunnisa dkk. (2024) juga membandingkan angka gangguan mental antara wilayah urban dan rural. Di wilayah rural, angka responden yang mengalami gangguan mental mencapai 8,9%.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa lingkungan perkotaan memberikan dampak yang lebih signifikan terhadap kesehatan mental.
Akses Layanan Psikologis yang Terbatas
Kondisi ini diperparah dengan masih terbatasnya akses terhadap layanan psikologis di perkotaan. Hal ini menjadi tantangan yang signifikan, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah.
Minimnya akses terhadap layanan kesehatan mental dapat memperburuk kondisi mereka yang membutuhkan.
Pencegahan Bunuh Diri: Peran Komunitas Lebih Penting
Benny Prawira, perwakilan Sustainable Treatment on Depression in Indonesia (STAND) Indonesia, menyoroti pendekatan pencegahan bunuh diri di Indonesia. Ia mengatakan bahwa upaya yang ada kerap kali masih berada pada tataran dasar.
Menurut Benny, pencegahan bunuh diri tidak hanya tentang bantuan individu, tetapi juga tentang penyediaan fasilitas dasar seperti rumah layak huni, pekerjaan, dan layanan kesehatan yang baik.
Baca Juga: Kolaborasi PT Mustika Ratu Tbk dan KPK dalam Upaya Pencegahan Korupsi
Pentingnya Peran Komunitas
Benny menekankan pentingnya peran komunitas atau kelompok dalam upaya pencegahan bunuh diri. Ia berpendapat bahwa aktivitas yang mendukung kesehatan mental hanya dapat dilakukan di level komunitas.
Dengan demikian, dukungan dari komunitas menjadi faktor krusial dalam memberikan dampak yang positif.
Model Pengobatan Terapi di Tingkat Puskesmas
Penelitian STAND yang didukung oleh National Institute of Health Research di Inggris sedang menguji model pengobatan terapi. Model ini akan diterapkan dengan melibatkan kader di sejumlah puskesmas di Pulau Jawa.
Tujuannya adalah untuk menciptakan intervensi baru di level puskesmas yang dapat diakses oleh masyarakat luas.
Pelatihan Kader untuk Terapi Singkat
Benny menjelaskan bahwa para kader akan dilatih untuk melakukan terapi singkat. Hal ini bertujuan agar mereka dapat memberikan pengobatan kepada pasien depresi.
Terapi yang disederhanakan ini diharapkan dapat menjangkau lebih banyak kasus dan memberikan bantuan yang lebih cepat.
Peran Media Sosial dan Digital Empathy
Agata Ika Paskarista, seorang psikolog dan influencer dari akun Instagram lostidn, menyoroti peran media sosial dalam kesehatan mental. Ia mengakui bahwa media sosial bisa menjadi sumber stres baru jika tidak digunakan dengan bijak.
Agata menekankan pentingnya digital empathy dalam bermedia sosial.
Dampak Komentar Negatif
Ia mengingatkan bahwa komentar yang menyakitkan dapat memberikan dampak yang berkepanjangan. Hanya butuh waktu singkat untuk menulis komentar negatif, tetapi penyembuhan dari dampaknya membutuhkan waktu yang lama.
Oleh karena itu, penggunaan media sosial yang bijak sangat diperlukan untuk menjaga kesehatan mental.
Tantangan Kesehatan Mental di Lingkungan Kerja
Data menunjukkan bahwa 52% pekerja mengalami kelelahan kerja kronis. Perusahaan disarankan untuk melakukan skrining mental dini untuk mengatasi masalah ini.
Generasi Z terbukti menjadi kelompok paling rentan, dengan 91% menghadapi tantangan kesehatan mental dan 35% mengalami depresi (10/10/2025).
Pentingnya meningkatkan kesadaran dan menyediakan dukungan yang memadai untuk kesehatan mental adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera.